Jumaat, 6 November 2009

kenali potensi diri

sumber:http://stianie.wordpress.com/2005/12/19/mengenali-potensi-diri/
MENGENALI POTENSI DIRIDesember 19, 2005
Pada dasarnya setiap manusia memiliki kekuatan dan potensi masing-masing. Tapi sampai saat ini masih banyak yang belum menyadari potensi di dalam dirinya sendiri. Padahal potensi setiap orang sangat menunjang kesuksesan hidupnya jika diasah dengan baik. Nah kalo pengin tau potensi diri anda, coba deh ikuti tipsnya:
Kenali diri sendiriCoba buat daftar pertanyaan, seperti: apa yang membuat anda bahagia; apa yang anda inginkan dalam hidup ini; apa kelebihan dan kekuatan anda; dan apa saja kelemahan anda. Kemudian jawablah pertanyaan ini secara jujur dan objektif. Mintalah bantuan keluarga atau sahabat untuk menilai kelemahan dan kekuatan anda.
Tentukan tujuan hidupTentukan tujuan hidup anda baik itu tujuan jangka waktu pendek maupun jangka panjang secara realistis. Realistis maksudnya yang sesuai dengan kemampuan dan kompetensi anda. Menentukan tujuan yang jauh boleh aja asal diikuti oleh semangat untuk mencapainya.
Kenali motivasi hidupSetiap manusia memiliki motivasi tersendiri untuk mencapai tujuan hidupnya. Coba kenali apa motivasi hidup anda, apa yang bisa melecut semangat anda untuk menghasilkan karya terbaik, dll. Sehingga anda memiliki kekuatan dan dukungan moril dari dalam diri untuk menghasilkan yang terbaik.
Hilangkan negative thinkingEnyahkan pikiran-pikiran negatif yang bisa menghambat langkah anda mencapai tujuan. Setiap kali anda menghadapi hambatan, jangan menyalahkan orang lain. Lebih baik coba evaluasi kembali langkah anda mungkin ada sesuatu yang perlu diperbaiki. Kemudian melangkahlah kembali jika anda telah menemukan jalan yang mantap.
Jangan mengadili diri sendiriJika terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dalam mencapai tujuan anda, jangan menyesali dan mengadili diri sendiri berlarut-larut. Hal ini hanya akan membuang waktu dan energi. Bangkit dan tataplah masa depan. Jadikan kegagalan sebagai pengalaman dan bahan pelajaran untuk maju.
Kini anda sudah tau kan cara mengetahui potensi diri anda? Ingat, potensi anda adalah kekuatan anda untuk menggapai sukses. So, mulai sekarang ketahuilah dan galilah potensi diri anda. Semoga sukses..!
-: Sarikata.com :-

masalah anak di sekolah

Ringkasan
Isi:

T 209 A "Masalah Anak Belajar di Sekolah" oleh Pdt. Paul Gunadi



Tatkala anak mulai tidak bisa mengikuti pelajaran di sekolah pada umumnya kita beranggapan bahwa anak itu malas belajar. Itu sebabnya biasanya kita bereaksi dengan menegurnya dan pada akhirnya meminta bantuan guru les. Sesungguhnya ada banyak alasan mengapa anak mengalami kesukaran belajar; kemalasan hanyalah salah satunya.




Anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena kecerdasannya tidak memadai. Orangtua mesti menilai kemampuan anak dengan tepat dan menyekolahkannya di sekolah yang sesuai dengan kesanggupannya. Jika kita melihat bahwa anak telah berusaha dan dengan tekun belajar namun hasilnya tetap tidak memadai, itu berarti tuntutan sekolah melampaui kesanggupannya. Bila kita memaksakannya anak akan tertekan dan sebagai akibatnya, aspek lain dari perkembangan dirinya akan terganggu.




Anak tidak bisa mengikuti pelajaran karena pelajaran disampaikan dengan cara yang tidak sesuai dengan cara belajarnya. Anak belajar dengan cara yang berbeda: ada yang cenderung berpikir abstrak namun ada yang berpikir konkret; ada yang belajar berurut dan ada yang belajar secara acak. Seorang guru tidak selalu dapat menyampaikan dan menjelaskan materi pelajaran yang cocok untuk setiap anak didik. Itu sebabnya penting bagi kita orangtua untuk mengenali cara belajar anak dan pola pikirnya. Bila setelah menjelaskannya dengan cara berbeda anak mengerti, itu berarti pola pembelajaran di sekolah tidak pas untuknya dan kitalah yang harus berperan membantunya di rumah.




Anak mengalami kesukaran karena minat belajarnya terbatas pada satu atau pelajaran saja. Jika dirata-ratakan anak mesti menguasai sekitar 10 mata pelajaran. Masalahnya adalah sepuluh mata pelajaran ini mewakili sepuluh bidang keahlian dan sedikit manusia yang dapat menguasai sepuluh bidang keahlian. Makin merata keahlian seseorang, makin dapat ia mengikuti pelajaran-pelajaran itu semua. Namun bila kemampuannya terfokus pada satu atau dua bidang saja, sudah tentu ia akan mengalami masalah dalam bidang lainnya. Tugas orangtua adalah menolong anak agar dapat melewati pelajaran-pelajaran lainnya. Ia tidak usah mendapat nilai 10, nilai 6 pun memadai sebab pada akhirnya ia akan mengembangkan bidang keahliannya di tingkat pendidikan yang lebih tinggi.




Anak mengalami kesulitan belajar karena alasan pribadi yang berkaitan dengan pengajar. Misalnya ada anak yang tidak menyukai pelajaran tertentu karena ia tidak menyukai kepribadian pengajarnya. Bisa pula ia tidak menyukai pengajar karena pernah diejek atau dipermalukan. Sebagai akibatnya ia tidak memberi perhatian apalagi menumbuhkan minat pada bidang tersebut. Nilainya pun akhirnya merosot. Sebagai orang tua kita harus membantu anak untuk memisahkan pengajar dan ajarannya; melalui contoh konkret kita menjelaskan materi pelajarannya dan menumbuhkan minatnya sebab sayang sekali kalau gara-gara faktor pribadi, ia kehilangan kesempatan mengembangkan minat pada bidang yang dikuasainya itu.



Anak mengalami kesukaran belajar akibat perlakuan teman yang tidak bersahabat. Akhirnya ia tidak suka ke sekolah dan sukar berkonsentrasi belajar sebab ia kerap merasa takut ke sekolah. Membayangkan sekolah saja sudah membuatnya tertekan, apalagi pergi ke sekolah. Kalau ini yang terjadi, maka kita perlu melindunginya. Kita dapat menawarkan bantuan kepadanya namun bila ia menolak, berilah kesempatan kepadanya untuk menyelesaikan masalah itu dengan temannya. Sudah tentu kita harus menawarkan masukan tentang apa yang dapat dilakukannya untuk mengatasi masalah dengan temannya.




Anak mengalami kesukaran belajar akibat masalah rumah tangga. Problem orangtua pada akhirnya menjadi problem anak pula sebab anak akan terpengaruh olehnya. Biasanya anak menjadi tegang dan sulit berkonsentrasi akibat pertengkaran yang didengarnya semalam. Kadang anak khawatir bahwa orangtua akan bertengkar lagi tatkala ia berada di sekolah dan mungkin salah satu akan mengalami luka. Jika ini yang terjadi, orangtua mesti mencari pertolongan dan menyelesaikan masalahnya.




Anak mengalami kesukaran belajar sebab baginya bermain jauh lebih menyenangkan daripada belajar. Ketersediaan mainan dapat menjadi cobaan yang terlalu sulit untuk ditampik anak; akhirnya ia asyik bermain dan lupa waktu dan lupa tanggung jawab. Orangtua mesti membatasi waktu bermain anak namun tidak seharusnya orangtua melarang anak bermain sama sekali. Anak perlu bermain setiap hari untuk menyeimbangkan hidupnya kembali. Dengan pengawasan, anak seharusnya diizinkan waktu bermain agar ia dapat menyegarkan jiwanya kembali.

masalah belajar

sumber:www.damandiri.or.oi

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku yang relatif tetap. Dalam
proses ini perubahan tidak terjadi sekaligus tetapi terjadi secara bertahap tergantung
pada faktor-faktor pendukung belajar yang mempengaruhi siswa. Faktor-faktor ini
umumnya dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor intern dan faktor ekstern.
Faktor intern berhubungan dengan segala sesuatu yang ada pada diri siswa yang
menunjang pembelajaran, seperti inteligensi, bakat, kemampuan motorik pancaindra,
dan skema berpikir. Faktor ekstern merupakan segala sesuatu yang berasal dari luar
diri siswa yang mengkondisikannya dalam pembelajaran, seperti pengalaman,
lingkungan sosial, metode belajar-mengajar, strategi belajar-mengajar, fasilitas
belajar dan dedikasi guru. Keberhasilannya mencapai suatu tahap hasil belajar
memungkinkannya untuk belajar lebih lancar dalam mencapai tahap selanjutnya.
Secara umum prestasi belajar siswa di Indonesia ditentukan oleh kemampuan
kognitifnya dalam memahami sebaran materi pelajaran yang telah ditentukan di
dalam kurikulum. Soemanto (1984:120-121) menyatakan bahwa tingkah laku
kognitif merupakan tindakan mengenal atau memikirkan situasi di mana tingkah laku
terjadi. Tingkah laku tergantung pada insight (pengamatan atau pemahaman) terhadap
hubungan yang ada dalam situasi. Dalam kognisi terjadi proses berpikir dan proses
mengamati yang menghasilkan, memperoleh, menyimpan, dan memproduksi
pengetahuan (Monks dan Knoers, 1998:216). Dengan demikian struktur kognitif
2
sebagai hasil belajar yang diperoleh siswa mempunyai bentuk yang beraneka ragam.
Praksis ini bisa kita lihat pada nilai rapor setiap akhir cawu atau NEM setiap akhir
tahun ajaran. Setiap siswa akan memiliki nilai yang bervariasi untuk setiap mata
pelajaran. Begitu juga kecenderungan peningkatan nilai siswa akan bervariasi pada
setiap cawu atau setiap akhir tahun pelajaran.
Tabel 1.1 Rata-rata NEM Bidang Studi IPS SLTP Negeri dan Swasta pada
Tingkat Nasional, Provinsi Jawa Timur dan Kabupaten Banyuwangi
Tahun Ajaran 1996/1997 – 2000/2001
Tahun Ajaran
No. Wilayah
1996/1997 1997/1998 1998/1999 1999/2000 2000/2001
1.
2.
3.
Nasional
Jawa Timur
Banyuwangi
5,72
6,21
6,08
5,58
6,16
6,16
5,34
5,62
5,71
5,19
5,22
5,32
5,23
5,39
5,30
Sumber: http://www.ebtanas.org/nemkota
Beberapa tahun terakhir ini, ada kecenderungan penurunan NEM untuk
bidang studi IPS seperti yang dideskripsikan pada tabel 1.1 (halaman 2). Sejak tahun
ajaran 1996/1997 sampai 1999/2000 terjadi penurunan NEM secara terus menerus
baik pada tingkat nasional maupun pada tingkat provinsi Jawa Timur dan meningkat
sedikit pada tahun ajaran 2000/2001. Penurunan ini makin mencolok pada tingkat
kabupaten Banyuwangi di mana mulai tahun ajaran 1997/1998 sampai 2000/2001
penurunan NEM terus terjadi. Kenyataan ini memberikan kesan bahwa usaha yang
serius dari pihak sekolah masih kurang untuk memperbaiki NEM bidang studi IPS,
apalagi bidang studi ini termasuk bidang studi yang dianggap mudah oleh siswa.
Sebagian besar materi pelajarannya terdiri atas konsep-konsep dasar nonhitungan,
3
masyarakat awam menyebutnya materi pelajaran yang bersifat hafalan, yang
dikaitkan dengan fenomena-fenomena sosial yang terjadi di dalam kehidupan siswa.
Siswa harus memahami konsep-konsep dasar ini agar dapat mengembangkannya
menjadi jaringan-jaringan konsep di dalam struktur kognitif. Untuk alasan ini mata
pelajaran ekonomi SLTP dijadikan objek penelitian dengan pertimbangan bahwa
materi pelajarannya merupakan bagian dari bidang studi IPS.
Jika diamati lebih mendalam tentang sifat bidang studi IPS, tampak bahwa
siswa yang belajar IPS tidak hanya memperhatikan benda atau pranata sosial budaya
berdasarkan bentuk fisik tetapi juga dituntut berpikir abstrak agar mampu memahami
dan menjelaskan sesuatu yang ada di balik fenomena yang diamatinya (Hasan,
1996:80). Untuk dapat berpikir abstrak, siswa harus mempunyai kemampuan berpikir
imajinatif yang baik. Oleh karena itu pemahaman siswa terhadap konsep-konsep,
pengalaman sosial dan perkembangan intelektualnya harus terus ditingkatkan secara
bertahap dan berkesinambungan.
Menurut Oemar Hamalik (1992:28), fungsi utama pengajaran IPS adalah
memperkenalkan pengalaman sosial kepada siswa. Sebelum masuk sekolah anakanak
telah mempunyai bermacam-macam pengalaman yang diperolehnya dari rumah
(lingkungan keluarga). Mereka telah diberikan teori, cara, dan pemahaman secara
sederhana tentang hubungan antar manusia. Di sekolah mereka mempunyai
kesempatan yang baik untuk berhubungan dengan teman-temannya. Mereka belajar
tentang keluarga, keagamaan, negara dan sebagainya. Pengalaman sosial juga harus
mencakup pelajaran tentang bagaimana cara belajar, tekniknya, dan prosedurnya.
Tentu saja hal ini akan berkaitan dengan membaca, menulis, dan menemukan bahan4
bahan pelajaran yang relevan. Berhasil-tidaknya siswa belajar dalam bidang studi IPS
tergantung pada kemampuan siswa dan keahlian guru dalam memberikan bimbingan.
Naifnya, pengajaran di Indonesia hanya berpedoman pada sebuah kurikulum yang
menuntut inteligensi tinggi sehingga sebagian besar siswa mengalami kesulitan dalam
belajar karena tidak ada sekolah yang sesuai dengan kemampuan intelektual mereka
(Drost, 2002:1).
Dengan demikian keseluruhan pembelajaran bidang studi IPS sangat dekat
dengan pemikiran Kohlberg tentang perkembangan sosial dan moral anak (Hirst dan
Peters, 1985:47). Ia melihat tahap-tahap perkembangan sebagai tahapan yang
menggambarkan keajegan urutan di dalam konsepsi anak tentang dirinya sendiri,
orang lain, dan aturan-aturan yang menstruktur kehidupan sosialnya. Kepahaman
sosial dan moralnya berkembang sesuai dengan bentuk-bentuk perkembangan
kognitifnya yang lain. Berinteraksi dengan lingkungan fisik merangsang anak
menstruktur perkembangan kognitif itu di dalam objek-objek yang memiliki
hubungan kausal dengan objek lain, dan di dalam ruang dan waktu untuk
membedakan antara yang nyata dan yang tampak, dan secara bertahap menggunakan
cara-cara yang lebih abstrak dalam mengenal dunia. Tahap-tahap perkembangan ini
ditandai dengan perubahan-perubahan pola berpikir tentang aturan-aturan yang
mendefinisikan hubungan sosial lebih daripada sekedar perubahan materi.
Ada beberapa strategi yang ditempuh siswa untuk mencapai keberhasilan
dalam belajar. Mayer membuktikan bahwa beberapa orang yang diberi tugas
memecahkan masalah yang sama, masing-masing menggunakan strategi yang
berbeda dalam memecahkan masalah itu. Pada saat ia memberikan persamaan: 5X =
5
27 + 2X – 12 kepada beberapa orang, sebagian orang menyelesaikannya dengan cara
mengurangi 27 dengan 12 sehingga menjadi 15 dan persamaan baru yang muncul
adalah 5X = 15 + 2X. Di sisi lain, ada sebagian orang yang menyelesaikannya dengan
cara memindahkan 2X ke sebelah kiri dan hasilnya adalah 5X – 2X = 27 – 12.
Selanjutnya Reder dan Anderson menyimpulkan bahwa seseorang yang mempelajari
ringkasan dari teks sebuah buku memiliki skor tes yang lebih baik daripada seseorang
yang mempelajari teks asli sebuah buku, bahkan ketika tes itu diberikan beberapa hari
kemudian (Bourne, 1986:245-246).
Strategi-strategi belajar berhubungan dengan gaya-gaya belajar. Menurut
Messick, gaya-gaya merupakan keteraturan diri yang konsisten yang membentuk
aktivitas-aktivitas manusia. Gaya-gaya berbeda dengan kemampuan karena konsep
kemampuan pada dasarnya dikaitkan dengan apa dan berapa seseorang bisa
melakukan sedangkan konsep gaya berkaitan dengan pertanyaan bagaimana aktivitasaktivitas
yang ditunjukkan. Perbedaan ini bertambah jelas di dalam pengukurannya:
kemampuan diukur dengan maximal performance test sedangkan gaya-gaya diukur
dengan typical performance test. Lebih lanjut Furham menyatakan gaya-gaya belajar
merupakan kasus khusus dari gaya-gaya kognitif walaupun perbedaan di antara
keduanya tidak begitu jelas. Dalam hal ini, Messick juga menegaskan gaya kognitif
adalah sikap-sikap, preferensi-preferensi yang stabil, atau strategi-strategi yang
menentukan penerimaan, proses mengingat, proses berpikir, dan memecahkan
masalah. Dengan demikian gaya-gaya kognitif memfokuskan pada organisasi dan
kontrol proses-proses kognitif secara keseluruhan sedangkan gaya-gaya belajar
memfokuskan pada organisasi dan kontrol strategi-strategi belajar dan pemerolehan
6
pengetahuan. Pintrich melihat gaya-gaya belajar sebagai proses memilih,
mengorganisasikan, dan mengontrol strategi-strategi belajar. Strategi-strategi belajar
ini meliputi strategi-strategi kognitif dalam menghafalkan, mengelaborasi,
mengorganisasikan, dan mengingat materi pembelajaran; strategi-strategi
metakognitif dengan latar tujuan, pemantauan, dan pengaturan diri; dan sumber daya
manajemen strategi-strategi yang terdiri atas waktu belajar, lingkungan belajar dan
sebagainya (www-dsz.service.rug.nl, tanpa tahun:1).
West, Farmer, dan Wolf (dalam Hsiao, 1997:2) menyatakan secara umum,
strategi-strategi belajar meliputi strategi-strategi kognitif dan strategi-strategi
metakognitif. Mereka mengidentifikasi dan mengkategorikan strategi-strategi kognitif
berdasarkan fungsi-fungsi khusus yang dimilikinya selama pemrosesan informasi.
Strategi kognitif merupakan keterampilan intelektual khusus yang sangat penting di
dalam belajar dan berpikir. Dalam teori belajar modern, strategi kognitif merupakan
proses kontrol, yaitu suatu proses internal yang digunakan siswa untuk memilih dan
mengubah cara-cara memberikan perhatian belajar, mengingat, dan berpikir.
Weinstein dan Mayer (dalam Gagne, 1992:66-67) membagi strategi kognitif ini
menjadi lima: strategi-strategi menghafal (rehearsal strategies), strategi-strategi
elaborasi (elaboration strategies), strategi-strategi pengaturan (organizing strategies),
strategi-strategi pengamatan pemahaman (comprehension monitoring strategies) atau
biasanya disebut strategi-strategi metakognitif (metacognitive strategies), dan
strategi-strategi afektif (affective strategies). Strategi-strategi metakognitif dijadikan
variabel eksogenus dalam penelitian ini.
7
Menurut Wahl, berpikir metakognitif memastikan bahwa siswa akan mampu
menyusun makna informasi. Agar hal ini tercapai, siswa harus mampu berpikir
tentang proses berpikir yang dimilikinya, mengidentifikasi strategi-strategi belajar
yang baik dan secara sadar mengarahkan bagaimana mereka belajar. O’Malley
(dalam Ellis, 1999:2) melihat bahwa siswa tanpa pendekatan metakognitif pada
dasarnya adalah siswa tanpa pengarahan dan kemampuan untuk memperhatikan
kemajuan, ketercapaian, dan pengarahan pembelajaran di masa depan. Collins (dalam
Yin dan Agnes, 2001:1) berhasil mengidentifikasi dua faktor yang mempengaruhi
kontrol dan kesadaran selama membaca: pertama, ciri-ciri teks yang sedang dibaca,
dan kedua, pengetahuan yang telah dimiliki berkaitan dengan teks itu. Walaupun
masih ada perdebatan tentang bisa atau tidak bisa strategi-strategi metakognitif
dilaporkan, beberapa ahli telah membuat kesepakatan bahwa strategi-strategi
metakognitif tidak hanya bisa dikontrol tetapi dapat juga dilaporkan.
Dengan demikian tampaknya ada beberapa faktor yang mempunyai kedekatan
hubungan dengan perkembangan struktur kognitif siswa. Faktor-faktor seperti
kecerdasan (intelligence), struktur medan kognitif atau skema berpikir, kemampuan
apersepsi, dan strategi kognitif, dapat diduga sebagai penentu perkembangan struktur
kognitif siswa. Selanjutnya faktor-faktor ini akan dijadikan variabel penelitian
sehingga secara keseluruhan, penelitian ini cenderung menggunakan pendekatan yang
menekankan pada faktor-faktor personal dalam mencari faktor-faktor yang
mempengaruhi hasil belajar siswa. Biggs (1984:111) mengemukakan bahwa
penelitian yang menekankan faktor-faktor personal beranggapan bahwa beberapa
orang lebih baik daripada yang lainnya pada tugas-tugas akademik karena mereka
8
mempunyai kemampuan yang lebih tinggi, memiliki latar belakang pengetahuan yang
lebih relevan dan lebih luas, dan seterusnya.
Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan melibatkan faktor-faktor di
atas sebagai objek penelitian. Pratomo et al (dalam Azwar, 2002:168) menemukan
korelasi inteligensi dengan prestasi belajar sebesar 0,276 yang signifikan pada taraf
signifikansi 5%. Kusumaningrum (1985:179) membuktikan ada hubungan
berbanding lurus IQ dengan prestasi belajar sebesar 0,14. Di samping itu, ia juga
berhasil membuktikan ada hubungan antara IQ dengan nilai tes masuk sebesar 0,23.
Gorzelanczyk et al (1998:3) menyimpulkan tidak ada korelasi yang signifikan antara
inteligensi dengan proses-proses belajar dengan rata-rata r = 0,11278. Rivai (2000:6)
menemukan hubungan positif yang signifikan antara inteligensi dengan hasil belajar
matematika sebesar 0,869.
Addison dan Hutcheson (2001:9) menemukan ada perbedaan skor kepahaman
yang signifikan antara kelompok yang telah mempelajari pengetahuan awal dengan
yang tidak mempelajari pengetahuan awal dengan t = 2,126. Hasil penelitian ini sama
dengan simpulan penelitian dari beberapa ahli yang dikutipnya. Pintrinch
menyimpulkan pengetahuan awal yang tidak akurat menghalang-halangi
perkembangan siswa dan kekurangan pengetahuan awal tidak memungkinkannya
untuk maju. Hasil eksperimen Biemans dan Simons menunjukkan bahwa
mengarahkan miskonsepsi melalui instruksi dan memberikan saran kepada siswa
bahwa pengetahuan baru bisa tidak konsisten dengan apa yang telah diketahui, dapat
membantunya belajar. Chan et al membuktikan pengetahuan awal memainkan peran
mediasi di dalam menggerakkan aktivitas yang konstruktif. Penelitian Barclay et al
9

YAKIN PADA DIRI

kejadian manusia

NBA design 2009